Room Without Window

1.30.2008

Hening semakin memenuhi kamar, disusul dengan desauan udara malam yang saling mendahului. Angin bertiup perlahan seakan berteriak “Aku Tak Betah Disini”. Lantai putih kumal yang ditiduri seorang pemuda, terlihat ekspresi wajahnya masam dengan mata yang masih memejam, bola matanya bergerak-gerak menandakan keramaian mimpi berlangsung.

“Dimana aku ?”, tanya seorang pemuda dengan wajah pucat.

“Dimanakah aku ?”, tatapannya sayu memandang lurus kedepan.

Dia melihat kubah besar dari kaca, anehnya tidak sinar matahari yang dapat menembus kacanya. Pemuda itu berjalan menuju kubah tersebut dengan tatapan kosong.

Sesampai didepannya, dia tidak melihat jalan untuk masuk, dia berlari kesisi lain kubah itu, terlihat jalan masuk yang sangat lebar bahkan bila dilihat lurus tegak dari depannya, kubah itu seperti melayang karena pijakannya sangat kecil. Dia masih bingung akan semua ini.

Selangkah dia masuk kedalam kubah itu, tetapi dia sudah disambut dengan patung besar berukiran kuda yang kedua kaki depannya mengangkat kedepan dengan gagah, ditunggangi seseorang lengkap dengan baju besi dan tangan kirinya yang kekar mengangkat tombak seraya menandakan kemenangan. Dibawah kuda itu tampak lagi sebuah batu persegi panjang yang terukir tulisan “Rest In Peace”.

“Aku-aku disebuah makam Nasrani”, suara pemuda itu bergetar kaku.

Dia memutarkan pandangan kesegala arah tetapi yang dilihat hanya makam-makam usang tua setengah hancur. Dia melangkahkan kakinya kebelakang dua langkah, tiba-tiba keseimbangannya goyah, dia tehentak menuju tanah, sebelum sampai ke tanah dia melihat cahaya matahari yang berhasil menembus kaca kubah dan menyinari matanya, tersenyum sesaat. Cahayanya semakin terang dan yang hanya bisa dilihat hanya warna putih kekuning-kuningan menenangkan hati, diiringi dengan suara pria tua seakan berbisik “siapakah kamu ?”.

“ASTAGHFIRULLAH”

“Kenapa aku ini ?”, dia mengelap keringat yang bersemat diwajahnya.

“Mimpi yang aneh, apa artinya semua itu ? kenapa harus aku yang bermimpi tentang hal yang tidak jelas seperti itu”, katanya membatin.

“Mungkin aku tidak berdoa sebelum tidur”, tambahnya berharap untuk menentramkan hati. Dia memandang ke langit-langit kusam dipenuhi sarang laba-laba, lalu memandang kebawah menatap lantai dan menghela nafas tiga kali.

“Kenapa sih harus aku yang berada di kamar memuakkanseperti ini, bahkan tikuspun tidak sudi untuk mampir di kamar ini, apa ruangan ini bisa disebut kamar ?, menurutku tidak, ruangan ini bagaikan penjara bagi para pengkhianat, pasti yang membuat ruangan ini menjadi kamar adalah orang bodoh. Bernafaspun udara yang dikeluarkan dari hidung terasa panas, setiap aku tidaur selalu keringat yang menemaniku. Suatu saat, etah kapan, yang pasti masih lama, Aku akan keluar dari tempat ini”, bentak pemuda itu dengan emosi yang meluap-luap.

“Semua gara-garai lelaki itu”, pandangannya seketika sinis.

“Kamar apa ini bahkan jendela saja tidak ada, udara mana yang tak marah masuk kesini”, keluhnya terucap lagi.

“Jam berapa sekarang ?”, dia menoleh kekiri lalu kekanan dan sadar dikamarnya tidak ada penunjuk waktu, namun dia yakin saat ini sudah pagi.

“Duk...Duk...Duk, Woiiiii mao keluar nih”, dia berteriak keras sekali tetapi dia ragu akan suaranya yang mungkin tidak sampai keluar, menghela nafas sejenak.

Pemuda ini bernama Arie Poernomo, Ibunya yang menamakannya begitu, Ayahnya seorang pengangguran yang tak jelas juntrungannya. Ibunya dan Ayahnya selalu bertengkar tanpa alasan sampai terjadi bentrokan fisik. Keluarganya yang berantakan menimbulkan tekanan yang sangat dalam bagi Arie. Karena keegoisan Ayahnya sejak usia 10 tahun sudah dikurung dalam kamar tanpa jendela, sekarang usianya 16 tahun namun Arie tidak berani melakukan pemberontakan terhadap keegoisan Ayahnya, namun suatu saat pasti akan tiba.

Disekolah Arie selalu memilih sendiri, menghindar dari keramaian. Wajahnya yang kekurangan eksperesi menampakan sebuah penderitaan amat dalam. Keluarganya hancur atau bisa disebut dengan istilah “Broken Home” dan Kamar Tanpa Jendelanya, lengkap sudah semua teman kesedihannya untuk menemani hari-harinya. Entah apa yang terjadi kelak, yang pasti Allah selalu memberikan yang terbaik.

***

“KREEEK....”, pintu dibukakan dan terpancar wajah Ibunya yang menenangkan hati. “Ayo nak keluar ! bapakmu tidak pulang tadi malam maka lekas keluar dari kamarmu dan pergi sekolah.

“Iya Bu !”, tatapannya merunduk sambil melangkah keluar.

“Akhirnya bisa keluar dari penjara”, bisik hati Arie sekejap. Arie melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebelum Arie menanggalkan pakaiannya dia melihat jam kecil yang ditaruh di hanger, diraihnya dengan tangan kiri ternyata waktu menunjukkan pukul setengah enam. Arie berpikir sejenak sebelum memulai aktivitasnya.

“Jam ditaruh dikamar mandi ?, apa maksudnya semua ini ?, apa yang menaruhnya seringkali lupa waktu saat menggunakan kamar mandi ini ?, apa kamar mandi ini lebih baik dari kamar tanpa jendela ku ?, atau. ...”, ingin sekali Arie berteriak saat itu.

“Bu ... lelaki itu kemana ?”, Arie memulai pembicaraan.

“Lelaki siapa ?”, tanya Ibu polos.

“Orang yang selalu Ibu panggil Bapak”, lanjut Arie tenang.

“Oh ... entahlah nak, kemarin katanya mau mencari kerja”, tatapannya menunduk.

“Mungkin dia sekarang benra-benar sudah menjadi PENGACARA”.

“Dari mana kamu tahu Bapakmu Pengacara ?”, tanya Ibu dengan wajah heran.

“Itu ... tuh pengangguran banyak acara disingkat pe-nga-ca-ra”, desak Arie sambil membayangkan sesuatu entah apa itu.

“Udah ... nak ! jangan mengejek Bapakmu. Seburuk apapun dia, didirimu mengalir darahnya”, Ibu tersenyum kecil. Arie hanya bisa menunduk terdiam dan meneruskan sarapannya dengan nasi uduk.

Ya memang, mengalir darah kotornya, dan aku tidak meminta itu, pergi dari rumah seenaknya, pulang langsung mencari-cari masalah lalu emosi bahkan memukul, nafkah pun sudah tak pernah dilihati lelaki itu memberikannya kepada Ibu sejak aku SD, apa itu masih bisa disebut Bapak ?, atau apakah pengertian Bapak sekarang telah berubah?, cih ... hanya sampah. Ingin sekali Arie melampiaskan uneg-unegnya kepada Ibunya yang masih menganggap lelaki itu sebagai Bapak.

“Bu ... Arie berangkat dulu”, digapai tangan Ibu dan menempelkan di keningnya.

“Hati-hati dijalan, belajar yang rajin”, wajahnya tampak berseri. Arie menatap wajah Ibunya sekejap lalu membalikkan badannya, pergi keluar pintu dan menghilang di sudut tikungan gang.

“Jadi anak yang tegar ya ...”, senyum mengembang dari wahanya dan terpancar harapan dari tatapan mata Ibu Arie.

***

Pagi ini terasa tak seperti biasanya, awan kehitam-hitaman, angin bertiup sangat perlahan. “Yang penting bisa menghirup udara luar walapaun angin bertiup pelan”, bisik hati Arie mencoba lagi untuk menentramkan jiwanya.

Suara lalu lalang menandakan keramaian kota yang dipenuhi asap kendaraan, mungkin karena itu awan menghitam. Sampailah Arie ditempat dia menunngu bis disebut halte. Pandangannya beralih dari lurus kedepan menjadi kekanan, memastikan bis yang dia tunggu menghampirinya.

Setiba disekolah Arie melangkah kecil melihat kiri kanan. Dari setiap kelas-kelas sudah terdengar siswa-siswi bertadarus Al-Qur’an, lalu Arie masuk ke dalam kelas dengan tatapan melihat kebawah.

Disekolah Arie, seluruh siswa diwajibkan tadarus Al-Qur’an selama lima belas menit, kononnya hal ini menjadi prinsip kuat sekolah ini tentang baiknya memulai sesuatu dengan hal yang suci dan baik. Hal pertama pertama yang akan Arie lakukan adalah bergabung dengan yang lainnya yakni membaca Al-Qur’an. Namun, Arie lupa untuk membawanya dan berharap ada Al-Qur’an yang tertinggal di kolong-kolong meja, pencarian Al-Qur’an pun dilakukan.

“Teng ... Tong ... Teng ... Tong”, bel berbunyi manandakan selesainya para siswa bertadarus yang menghenyakkan Arie sedang mencari Al-Qur’an dan kembali duduk ke bangkunya didepan, sendirian.

“Assalammualaikum !”, guru Ekonomi menyapa seluruh kelas, keramaian pun berganti keheningan sekejap.

“Waalaikum salam !”, seru murid serentak, tidak dengan Arie, dia menjawab salam wajib itu tanpa suara. “Wah mulai deh bagian yang menakutkan !”, terdengar suara temannya dari belakang berbisik dengan teman yang disebelahnya. Arie hanya bisa menghela nafas dan pasrah. Sesaat pelajaran tengah berlangsung, Arie menyempatkan diri untuk menggambar, malang nasibnya. Dia tertangkap tangan sedang menggambar orang dengan eksperesi wajah sedang sangat marah.

“Gambar ini didepan kelas, Arie”, bentak guru Ekonomi tegas. Tanpa sepatah kata pun yang di ucapkan, Arie melangkah menuju papan tulis dan mengabil spidol mulai menggambar.

“Sudah selesai Bu !”, kata Arie, nyaris suaranya tidak terdengar.

“Ya sudah duduk sana, jangan diulangi lagi”, kata guru Ekonomi disusul dengan nafasnya yang menghela. Setelah itu Arie langsung pergi meninggalkan kelas, mungkin dia akan pergi ke WC.

Pelajaran Ekonomi telah usai, guru itu melihat gambar Arie yang belum terhapus di papan tulis. Namun bukannya gambar tetapi tulisan.

DUNIA APA INI ? tidak jelas tujuannya

AKU BENCI SEMUA ! hal yang melarang ku

AKU BENCI DIRIKU ! tentang kesepian

AKU MAU MATI ! aku mau mati

“Astaghfirullah, apa maksud tulisan anak ini ?”, Guru Ekonomi hanya bisa terdiam dan mungkin merasa menyesal menghukumnya.

0 komentar:

About Me :

Foto saya
Just a Simple man, with simply needs, and simply smile, but have a BIG DREAMS.

Write Your Comment Here :

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Kamu Pengunjung Ke :

Cari Di Arsip :